JAKARTA - Perputaran ekonomi di Kabupaten Aceh Singkil kembali menunjukkan geliat positif berkat naiknya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang kini tembus Rp2.550 per kilogram.
Kenaikan harga ini membawa semangat baru bagi para petani setempat yang selama beberapa tahun terakhir harus bertahan dengan fluktuasi harga yang cukup tajam.
Momentum ini menjadi kabar baik di tengah harapan masyarakat untuk kembali menikmati harga sawit seperti masa kejayaan pada akhir 2021 lalu. Terlebih, mayoritas warga Aceh Singkil menggantungkan sumber penghasilan dari perkebunan kelapa sawit.
Harga Tertinggi dalam Lima Tahun Terakhir
Harga sawit Rp2.550 per kilogram yang tercatat pada Rabu, 1 Oktober 2025, menjadi yang tertinggi selama lima tahun terakhir. Sebelumnya, harga sawit sempat mencapai puncaknya pada akhir 2021 lalu dengan nilai Rp3.000 per kilogram di tingkat petani. Namun, setelah itu harga terus menurun dan hanya bertahan di kisaran Rp2.200 hingga Rp2.400 per kilogram.
Kini, setelah melalui masa sulit, kenaikan ini kembali memberi harapan kepada petani sawit. Harapan akan kestabilan harga bahkan peningkatan lebih lanjut pun semakin besar.
"Untuk harga diantar Rp2.550, mohon jaga kualitas buah," ujar Anto, pemilik pengepul kelapa sawit UD Ram Alwi Hutabarat, yang berlokasi di kawasan Gosong Telaga Barat, Kecamatan Singkil Utara.
Pernyataan ini juga menjadi pengingat bagi para petani untuk tetap menjaga kualitas buah sawit yang dipanen. Pasalnya, kualitas buah yang baik menjadi faktor penting agar harga tetap stabil bahkan meningkat.
Kenaikan Harga Dipicu Musim Trek
Kenaikan harga TBS ini mulai terasa sejak memasuki musim trek atau masa penurunan produksi pada akhir Agustus 2025. Ketika produksi sawit petani Aceh Singkil mengalami penurunan, harga mulai menunjukkan tren positif.
Uniknya, saat produksi mulai kembali normal, harga justru masih bertahan naik. Hal ini menunjukkan adanya potensi pasar yang cukup baik bagi komoditas sawit lokal. Petani pun merasa optimistis tren ini bisa terus berlanjut dalam beberapa waktu ke depan.
Petani sawit berharap kenaikan ini tidak hanya sesaat. Mereka bahkan memasang harapan agar harga bisa kembali menyentuh angka Rp3.000 per kilogram seperti di akhir 2021 lalu.
"Kalau bisa pengen juga merasakan kembali tiga ribu sawit sekilonya," kata Rizal, seorang petani yang memiliki kebun sawit di daerah Danau Paris dan Suro Makmur.
Pupuk Jadi Penentu Keuntungan Petani
Salah satu faktor penting yang juga menjadi perhatian petani sawit di Aceh Singkil adalah harga pupuk. Meskipun harga sawit sedang dalam tren naik, namun jika harga pupuk ikut melonjak kembali, maka keuntungan yang dirasakan petani akan tergerus.
Petani berharap agar harga pupuk tetap berada dalam level yang stabil dan terjangkau. Dengan demikian, margin keuntungan dari penjualan sawit dapat benar-benar dirasakan oleh para pekebun.
"Yang penting pupuk jangan naik lagi, kalau bisa makin turun. Biar kita tenang rawat kebun," ujar seorang petani yang enggan disebutkan namanya.
Dampak Langsung ke Perputaran Ekonomi Daerah
Kenaikan harga sawit juga memberi dampak langsung ke sektor-sektor lain di Aceh Singkil. Perputaran uang di daerah ini kembali mengalir, terlihat dari meningkatnya aktivitas ekonomi masyarakat.
Contoh sederhana dapat dilihat di warung-warung kopi yang kembali ramai pengunjung. Tempat-tempat wisata lokal pun mulai kebanjiran pengunjung, terutama saat akhir pekan. Semua ini merupakan sinyal positif bahwa kesejahteraan petani sawit ikut menggerakkan ekonomi sektor informal dan pariwisata di daerah tersebut.
Hampir 70 persen penduduk Aceh Singkil memang bergantung pada hasil kebun kelapa sawit. Maka dari itu, setiap perubahan harga sawit akan berdampak langsung pada kondisi ekonomi rumah tangga, hingga aktivitas ekonomi secara keseluruhan.
“Kalau sawit naik, warung ramai lagi. Orang banyak yang belanja. Yang biasanya ngopi sekali seminggu, bisa jadi tiap sore,” ujar seorang pemilik warung kopi di Kecamatan Gunung Meriah.
Optimisme Menyambut Masa Panen Berikutnya
Kabar baik tentang kenaikan harga sawit ini disambut gembira oleh para petani, terutama mereka yang sedang mempersiapkan masa panen berikutnya.
Banyak petani mulai berbenah dengan merawat kebun lebih serius, menyemprot hama, memangkas daun, hingga menyiapkan alat panen.
Harapannya sederhana: jika harga tetap tinggi, maka hasil kerja keras mereka akan setimpal.
Sementara itu, beberapa pengepul dan pelaku distribusi juga mengaku telah bersiap menambah armada angkut serta gudang tampung. Antusiasme ini menunjukkan bahwa rantai distribusi sawit dari kebun hingga ke pabrik juga semakin menggeliat seiring dengan kenaikan harga.
Harapan Petani: Stabilitas Harga dan Akses Pasar
Di balik optimisme ini, petani tetap berharap adanya stabilitas harga jangka panjang. Mereka ingin agar fluktuasi tajam yang pernah terjadi di masa lalu tidak kembali terulang.
Selain itu, akses pasar langsung ke pabrik atau koperasi juga menjadi harapan, agar margin keuntungan bisa lebih maksimal tanpa dipotong terlalu banyak oleh pihak ketiga.
Program pendampingan dari pihak terkait juga dinantikan, terutama dalam hal teknis perawatan kebun dan tata kelola hasil panen agar kualitas tetap terjaga.
Dengan harga yang terus naik dan produksi yang kembali normal, petani sawit Aceh Singkil kini melihat masa depan dengan lebih cerah.
Jika kondisi ini dapat dipertahankan, maka bukan tidak mungkin daerah ini akan menjadi salah satu lumbung kesejahteraan sawit di wilayah barat Indonesia.