Literasi Bencana Kunci Jepang Minimkan Korban Tsunami

Senin, 08 September 2025 | 13:54:20 WIB
Literasi Bencana Kunci Jepang Minimkan Korban Tsunami

JAKARTA - Jepang menjadi contoh dunia dalam menekan jumlah korban jiwa saat tsunami. Keberhasilan ini tidak semata-mata berasal dari teknologi peringatan dini, tetapi juga dari literasi masyarakat yang tinggi dalam merespons peringatan dan melakukan evakuasi cepat. Fakta ini menunjukkan bahwa kesiapsiagaan masyarakat merupakan faktor yang sama pentingnya dengan sistem peringatan berbasis teknologi.

Makoto Takahashi dari Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Nagoya menegaskan bahwa masalah utama bukan ketiadaan informasi. Justru, ketidakmauan warga untuk bertindak cepat saat peringatan diumumkan menjadi kendala terbesar. "Japan Meteorological Agency (JMA) dapat mengeluarkan peringatan hanya tiga menit setelah gempa, tetapi banyak warga masih terlambat bereaksi. Pencegahan tsunami bukan melawan gelombang, melainkan kemampuan evakuasi cepat," kata Makoto dalam kuliah umum bertajuk “Menghubungkan Prediksi, Aksi Lokal, dan Literasi Bencana” yang digelar Pusat Riset Kependudukan (PRK) BRIN bekerja sama dengan Universitas Nagoya di Kawasan Sains dan Teknologi Sarwono Prawirohardjo.

Desa Nishiki di Jepang Tengah menjadi contoh sukses penerapan literasi bencana. Makoto menjelaskan bahwa desa ini menerapkan tiga pilar utama: pertama, pembangunan jalur evakuasi dan fasilitas pendukung; kedua, pembentukan budaya sadar bencana melalui peringatan rutin dan simulasi berkala; ketiga, sistem peringatan berbasis komunitas yang melibatkan seluruh warga. Kombinasi ini terbukti efektif menekan risiko korban jiwa saat tsunami atau gempa besar melanda wilayah tersebut.

Selain itu, sejak 2003 pemerintah Nishiki telah merelokasi sebagian penduduk ke wilayah lebih tinggi, terutama lansia yang rentan terhadap bencana. Pendekatan kolaboratif juga dilakukan dengan melibatkan organisasi nelayan, sehingga warga pesisir lebih siap menghadapi bencana. Strategi ini menekankan bahwa literasi bencana harus diterapkan secara menyeluruh, berkelanjutan, dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya kampanye sesaat.

Fenomena gelombang besar terlihat di Hokkaido, Jepang, pada Rabu (30 Juli) setelah gempa berkekuatan 8,8 skala Richter melanda Semenanjung Kamchatka, Rusia. Meski kekuatan gempa cukup besar, jumlah korban jiwa tetap minimal. Hal ini menegaskan bahwa kesiapsiagaan masyarakat dan latihan evakuasi berperan penting dalam mitigasi risiko bencana. Jepang membuktikan bahwa kombinasi literasi, disiplin masyarakat, dan kesiapsiagaan menjadi kunci efektif menekan korban.

Kenji Muroi dari Universitas Nagoya menyoroti pengalaman gempa dan tsunami Jepang Timur 2011. Pemerintah kemudian menaikkan asumsi risiko gempa Nankai Trough ke kategori “kelas maksimum”. Meskipun probabilitasnya rendah, langkah ini dimaksudkan untuk meningkatkan kewaspadaan publik dan memperkuat strategi pengurangan risiko. Namun, Kenji menekankan komunikasi risiko harus disampaikan bijaksana. “Prediksi ilmiah yang disampaikan tanpa hati-hati bisa memicu kekhawatiran bahkan merugikan ekonomi, seperti turunnya nilai properti. Karena itu, komunikasi pengetahuan harus sederhana, mudah dipahami, dan tidak menimbulkan ketakutan berlebih,” jelasnya.

Plt Kepala PRK BRIN, Ali Yansyah Abdurrahim, menambahkan bahwa kegiatan ini menjadi kesempatan untuk memperkuat literasi kebencanaan di Indonesia sekaligus membuka peluang kerja sama lebih luas dengan Jepang. Ali berharap pengalaman Jepang bisa dijadikan referensi dalam meningkatkan sistem kesiapsiagaan bencana di tanah air. “Harapannya, wawasan ini tidak hanya memperkaya pemahaman akademik tetapi juga membangun kolaborasi internasional yang lebih konkret,” ujarnya.

Keberhasilan Jepang menekan korban tsunami menekankan dua hal utama: literasi bencana dan kesiapsiagaan masyarakat. Di setiap tingkat, mulai dari desa hingga pemerintah daerah, masyarakat dilibatkan dalam latihan evakuasi, simulasi bencana, dan pengenalan jalur evakuasi. Teknologi canggih tidak akan efektif jika warga tidak mengetahui tindakan yang tepat saat peringatan dikeluarkan. Jepang menunjukkan bahwa kombinasi pengetahuan ilmiah, disiplin, dan budaya sadar bencana mampu menekan risiko korban secara nyata.

Indonesia, sebagai negara rawan gempa dan tsunami, dapat mencontoh strategi Jepang. Literasi bencana, simulasi rutin, jalur evakuasi, dan sistem peringatan berbasis komunitas harus diadopsi. Relokasi penduduk di wilayah rawan dan keterlibatan komunitas lokal juga penting untuk meningkatkan efektivitas mitigasi. Selain itu, sosialisasi yang tepat mengenai risiko bencana dan langkah evakuasi bisa menyelamatkan banyak nyawa.

Pengalaman Jepang membuktikan bahwa mitigasi bencana bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Seluruh lapisan masyarakat harus dilibatkan aktif. Sistem peringatan, latihan, dan simulasi harus dijalankan secara konsisten. Literasi bencana yang tinggi akan membuat masyarakat lebih tanggap dan mampu bertindak cepat, sehingga risiko korban jiwa saat tsunami atau gempa dapat ditekan secara maksimal.

Dengan mencontoh praktik Jepang, Indonesia memiliki peluang untuk membangun masyarakat yang tangguh, adaptif, dan siap menghadapi bencana. Integrasi literasi bencana, budaya sadar risiko, dan evakuasi cepat menjadi fondasi utama mitigasi yang efektif. Strategi ini menunjukkan bahwa kesiapsiagaan masyarakat merupakan kunci sukses dalam menekan korban saat bencana alam terjadi.

Terkini

KPR Aman Dengan Cicilan Maksimal 35 Persen Gaji

Senin, 08 September 2025 | 17:27:30 WIB

Gen Z Indonesia Didorong Cerdas Atur Finansial

Senin, 08 September 2025 | 17:27:27 WIB

Mudah Menukarkan Uang Rusak di Bank Indonesia

Senin, 08 September 2025 | 17:27:24 WIB

Investasi Mudah dan Aman Bagi Perintis Pemula

Senin, 08 September 2025 | 17:27:21 WIB

Pertumbuhan Investor Pasar Modal RI Meningkat Pesat

Senin, 08 September 2025 | 17:27:17 WIB